Komunitas Difabel Bukti Nyata Minimnya Perhatian Pemerintah
Difabel merupakan sebutan bagi seseorang yang memiliki keterbatasan dalam hal fisik. Topik mengenai difabel ini menjadi salah satu pembahasan yang cukup menarik dan perlu diangkat, mengingat para difabel ini masih dianggap sebelah mata oleh masyarakat dan pemerintah karena adanya keterbatasan pada fisik mereka.
Di beberapa negara terutama Indonesia para difabel masih kurang diperhatikan. Kurangnya perhatian pemerintah dalam mengatasi masalah difabel ini menjadi isu yang perlu diangkat sebab para difabel juga memiliki hak-hak yang sama dengan masyarakat umum. Hal ini menjadikan posisi difabel sendiri seperti dianaktirikan oleh pemerintah, terlebih lagi dalam dunia pekerjaan.
Di Kabupaten Jember, terutama di Kecamatan Arjasa, terdapat ratusan orang penyandang difabel. Para penyandang difabel terdata sekitar 200 orang dan itu masih belum tercatat secara keseluruhan.
Meskipun dinaungi oleh para penyandang difabel, lembaga ini dapat berjalan dengan baik karena rata-rata anggota yang berada di lembaga ini merupakan orang-orang yang berpendidikan tinggi.
Dalam praktiknya, para difabel masih merasa diasingkan dalam bidang ketenagakerjaan. Para difabel ini lebih memilih menjadi wirausahawan daripada bekerja di sebuah instansi pemerintah.
Banyaknya tindakan diskriminasi yang terjadi membuat para difabel tidak memiliki ruang di dalam pemerintahan. Sehingga mereka lebih memilih untuk berwirausaha.
Seperti salah seorang penyandang difabel bernama Yasin yang juga merupakan anggota dari Yayasan Persatuan Penyandang Cacat (Perpenca) sekaligus sebagai koordinator Perpenca di wilayah Kecamatan Arjasa. Ia merupakan seorang difabel yang hari-harinya bekerja sebagai tukang servis barang elektronik.
Yasin menyebutkan bahwa pemerintah masih belum sepenuhnya mengerti difabel ini. Dari beberapa kasus yang pernah dialami Yasin dan para difabel, bantuan yang mereka dapatkan dari pemerintah hanyalah berupa uang yang hanya bersifat sementara. Padahal yang mereka harapkan adalah bantuan berupa pelatihan kerja yang lebih berguna untuk jangka panjang.
“Kita ini sebenarnya sama-sama rata derajatnya, kita juga membayar pajak sama dengan hak para non-difabel. Kita juga tidak merugikan dari segi apa pun. Lalu kenapa pada saat kita para penyandang ingin meminta pemenuhan haknya sebagai warga Indonesia tidak pernah diperhatikan? Atau kita itu para difabel dianggap mereka sebagai sebuah beban yang hanya dimanfaatkan suaranya dalam memperoleh keuntungan di ruang publik?" tutur Yasin.
Kepedulian itu mereka dapatkan dari partai politik yang mempunyai kepentingan berupa dukungan suara. Perhatian mereka lebih terfokus kepada penyandang difabel di wilayah yang mudah dijangkau seperti di daerah pusat kota. Sedangkan para penyandang difabel di wilayah pelosok tidak mendapatkan perhatian dari partai politik tersebut. Hal ini dikarenakan tidak adanya pencatatan dari pemerintah yang mendata para penyandang difabel di wilayah pelosok.
Para kaum difabel hanya bisa mengandalkan komunitas difabel sebagai pilihan terakhir untuk permasalahan mereka dalam hal pemenuhan hak. Dalam lingkup kesejahteraan sosial, para penyandang difabel termasuk dalam kategori Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS) yang berisi golongan orang-orang dengan keterbelakangan mental, gelandangan, dan pengemis.
Hal itu berbanding terbalik dengan pendapat Yasin yang beranggapan bahwa kaum difabel hanya terlihat berbeda secara fisik dan tidak memiliki gangguan mental. Di Lembaga Perpenca sendiri tedapat beberapa agenda kegiatan yang dilakukan. Salah satunya yaitu membentuk suatu gerakan Komisi Nasional Disabilitas (KND) yang bertujuan untuk memberikan pemenuhan hak penyandang difabel. Hal ini dilakukan karena alasan yang telah disebutkan sebelumnya bahwa adanya ketidakmerataan perhatian oleh pemerintah.
Gerakan-gerakan sosial yang dilakukan oleh kaum difabel melalui berbagai platform mengindikasikan adanya gerakan atau teori yang pernah dinarasikan oleh Anthony Giddens. Menurut Ritzer, Giddens dalam bukunya yang berjudul Teori Strukturasi Dasar-Dasar Pembentukan Struktur Sosial Masyarakat mengatakan bahwa teori ini lebih dikenal sebagai teori strukturasi.
Fokus kajian Anthony Giddens yakni pada modernitas dan gerakannya. Giddens juga menyebut bahwa dalam suatu gerakan terhadap agen-agen, atau sering disebut sebagai aktor gerakan. Hal ini didasarkan pada kesadaran dalam diri sendiri akan adanya perubahan atau peningkatan kapasitas.
Menurut Giddens, struktur bukan bersifat eksternal bagi individu-individu melainkan dalam pengertian tertentu yang lebih bersifat internal. Terkait dengan aspek internal ini, Giddens menyandarkan pemaparannya pada diri seorang subjek yang memiliki sifat yang otonom serta andil untuk mengontrol struktur itu sendiri. Dalam kasus difabel ini, gerakan yang struktural menjadi gerakan yang fundamental dalam mendobrak dominasi kekuasaan. Gerakan struktural ini meliputi adanya konsensus bersama dalam aliansi untuk menuntut hak dan peningkatan taraf hidup mereka kepada negara.
Selanjutnya, para difabel diberikan pilihan antara bekerja di sebuah instansi pemerintahan dengan gaji yang tetap atau sebagai wirausahawan dengan keterampilan yang mereka miliki meskipun pendapatan yang diperoleh tidak tetap. Penyandang difabel pada nyatanya lebih memilih untuk berwirausaha dengan pendapatan yang tidak tetap. Alasan mereka memilih berwirausaha karena keterampilan yang mereka dapatkan dari pelatihan kerja dan ketekunan bakat sudah dimiliki sejak kecil. Keterampilan yang mereka miliki seperti menjahit, teknik elektro, dan lain sebagainya dapat menjadi sumber ilmu dan memotivasi para difabel lainnya bahwa menjadi wirausaha juga bukan hal buruk. Bahkan dengan berwirausaha para difabel juga dapat membuka lapagan pekerjaan bagi orang lain dari yang difabel sampai non difabel.