Beban Politis Si Kulit Tipis

Rembuk  

Keluarga saya adalah pedagang kue. Tiap hari harus beli telur beberapa kilo. Gusaran hati orang rumah sudah mulai mengganggu telinga. Telur naik, harga kue tak bisa dinaikkan. Gundah, seakan tak bisa mengeluh pada siapa pun. Yang mendengar hanya bisa menenangkan, dan bergaya sok sabar. Padahal saya juga kesal dengan naiknya si kulit tipis ini.

Biasanya, kalau sudah naik, sembako juga lupa turun. Kalau pun turun, paling hanya berapa koin. Tak sampai menyentuh di harga awal sebelum naik. Alasannya macam-macam. Ada yang mengatakan dari sananya sudah mahal. Ketika saya sengaja menanyakan pada pihak yang disebut sebagai dari sananya, jawabannya juga menjengkelkan. Kami juga butuh ongkos, BBM, dan uang makan. Apa kami harus memikul sendiri telur-telur ini sampai ke kios?

Benar juga sih, tapi apakah tak ada cara lain supaya kami user telur ini tidak terkena imbas, dan harus menaikkan kue-kue produk kami? Jika boleh memilih, kami akan mengecilkan produk kue kami, tapi dengan harga tetap. Atau kami boleh menaikkan harga kue ini, karena sebab yang sama dengan para pengecer-pedagang tadi. Sama-sama butuh makan untuk hidup, sebaiknya juga saling memahami.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

Warta yang beredar di TV, presiden kita bahkan turun tangan bicara tentang telur. Ia mengatakan bahwa dua pekan lagi harga telur akan berubah. Semoga saja perubahan ini berdampak pada penurunan harga di pasaran. Inilah negeri kita, negeri para popi. Namanya saja popi, diperlakukan bagaimana pun tetaplah diam. Tak mungkin berontak, apalagi melawan kenyataan. Semua ikhlas menerima, menjalani, dan membiarkan gejolak yang ada.

Tapi anehnya, yang teriak minta diturunkan harga sembako misalnya atau khususnya telur dan minyak goreng beberapa waktu lalu, gaya hidupnya juga biasa-biasa saja. Saya tak akan mengambil contoh warga di kota lain. Biar kota saya saja yang jadi contoh. Warga yang 'mengaku' berat dengan harga minyak yang sempat melambung menerima bantuan cairan licin itu, hidupnya juga biasa. Sepertinya tidak ada gejolak kelaparan atau indikator hidup susah.

Sepeda motornya juga masih bagus, dengan angsuran lancar tiap bulannya. Bahkan, hampir tiap hari ada ojek online yang mengiriman pesanan makanan ke rumahnya. TV di ruang tengah juga flat berukuran lumayan besar, untuk ukuran keluarga sederhana. Memang kursi di ruang tamunya biasa, bukan sofa mewah. Tapi barang itu ada di situ. Dan tapi juga, dia mengaku berat dengan kenaikan harga minyak goreng dulu itu.

Sekarang, ada telur naik, dia mulai gelisah juga. Anak-anaknya kalau sekolah lebih suka diberi lauk telur, dan ini pasti ada kaitannya dengan minyak goreng. Sebenarnya nasib mereka dan saya sama. Sama-sama merasakan kenaikan harga telur, dan berharap telurnya segera diturunkan harganya. Jangan malu-malu untuk menurunkan harga telur sebab masyarakat banyak yang merasa dimudahkan jika ada telur di rumah. Utamanya ketika harus menyiapkan lauk sekolah anak.

Kembali ke usaha kue saya tadi, tentu ini juga akan dirasakan dampak positifnya bagi usahawan kue lainnya. Biarlah kami menikmati sedikit selisih laba dari hasil jualan kue kami, agar kami juga bisa tersenyum renyah ketika belanja kebutuhan pokok, sama seperti mereka yang tak senasib dengan kami. Mereka yang sudah mapan secara ekonomi, tak mempermasalahkan seberapa tinggi harga telur. Hanya kami inilah yang terasa ada cekikan berat di leher.

Ada saja yang kami pikir dan duga, bahwa setelah telur akan ada kenaikan sembako lainnya. Yang belum diwartakan kenaikannya adalah beras. Negara swasembada pangan ini sudah lama belum (lagi) menaikkan harga beras. Kalau pun ada kenaikan, sifatnya juga tipis-tipis, malu-malu. Dan kami, para popi, hanya bisa tertawa. Kami menertawakan diri kami sendiri yang dungu, sebab kami tak tahu kehadiran kami di bumi ini sungguhlah hanya untuk menambah kekonyolan para popi.

Tapi biasanya, jika presiden kita mulai turun dan memberikan pernyataan, menterinya mulai kalang kabut. Mereka kemudian melakukan operasi pasar, ada bazaar, ada pameran, ada berbagai bentuk kegiatan untuk menekan harga telur. Aksi ini sudah bisa ditebak, dan umurnya biasanya tak lama. Harga telur akan tampak dan terasa turun, hanya di lokasi itu saja. Bukan secara nasional turun bareng. Dan cara melaksanakan operasi pasarnya pun, (kadang) masih diselingi dengan pesan politis. Entah dari sisi pernyataannya, busananya, maupun aksesoris yang dipakai. Semoga saja kejadian di Lampung tak diulangi oleh yang bersangkutan.

Hascaryo Pramudibyanto

Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Terbuka

Ilustrasi: pixabay.com
Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

hascamaulana

Beban Politis Si Kulit Tipis

Menolak Perintah yang Meragukan

Uluran Tangan Damai Pelaku Tawuran

Kontak Info

Jl. Warung Buncit Raya No 37 Jakarta Selatan 12510 ext

Phone: 021 780 3747

[email protected] (Marketing)

Kategori

× Image