Perpustakaan dan Gaya Hidup Melek Informasi
Oleh: Romi Febriyanto Saputro*
Perpustakaan merupakan arena untuk mewujudkan gaya hidup melek informasi. Membaca, menulis, menelaah, menganalisa, mencerna dan menyelidiki informasi adalah gaya hidup yang bisa lahir dari aktivitas manusia di perpustakaan. Sejarah mencatat gaya hidup ini turut berperan dalam mengobarkan api kemerdekaan. Buku “Wahid Hasyim Untuk Republik Dari Tebu Ireng (2017)” menceritakan perpustakaan yang ada di Pesantren Tebu Ireng. Kamar itu sempit dan nyaris gelap. Luasnya 3 x 4 meter persegi dan tanpa jendela. Hanya sebuah lampu sentir menerangi ruangan. Di dalamnya, empat rak berisi penuh tumpukan buku menempel ke tembok. Di kamar inilah para anak kiai di Tebuireng belajar ilmu soal islam.
“Pak Wahid dan ayah saya belajar di tempat itu,” kata Abdul Hakam, 68 tahun, putra Kiai Haji Abdul Kholik Hasyim, adik kandung Wahid Hasyim. Gus Hakam bercerita, ruangan yang direkanya adalah sebuah kamar perpustakaan khusus milik kakeknya, Kiai Haji Hasyim Asy’ari. Di ruangan itu dulu, Wahid dan Kholik bisa tinggal berhari-hari, hanya untuk membaca. Kitab apa pun yang ada di ruang mini itu mereka baca.
“Keluar sudah bisa, langsung pintar,” kenang Gus Hakam. Sayang, perpustakaan yang terletak di dalam kasepuhan pondok pesantren Tebuireng itu sudah dibongkar. Kitab di dalamnya tak jelas pula rimbanya. Gus Hakam memang hanya punya secuil kenangan tentang pamanya itu. Namun, satu hal yang pasti, Wahid Hasyim dikenal sebagai orang cerdas bukan dari berguru saja, tapi lebih karena banyak membaca. Karena begitu kecanduan membaca, Wahid pun harus mengenangkan kacamata sejak kecil.
Wahid, yang pada usia lima tahun sudah pandai membaca Alquran, hanya butuh dua tahun untuk khatam kitab suci itu. Pada usia tujuh tahun Wahid sudah belajar kitab Fathul-Qarib, Minhajul Qawim, dan Mutammimah pada ayahnya. Lalu, di usia 13 tahun, Wahid dikirim ayahnya ke pondok pesantren Siwalan, Panji, sebuah pesantren tua di Sidoarjo. Di sana ia mempelajari kitab-kitab Bidayah, Sullamut Taufiq, Taqrib, dan Tafsir jalalain (ilmu tafsir). Semua kitab itu masuk kategori “kelas berat” untuk anak remaja.
Menurut Johan Prasetya (2014), kepiawaian Wahid Hasyim dalam berorganisasi dan berpolitik, serta komitmen untuk memajukan bangsa Indonesia membuat Wahid Hasyim dipercaya NU sebagai wakil di Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), organisasi yang didirikannya bersama Moh Natsir pada 1945. Tahun 1947, Wahid Hasyim dipercaya memimpin Ponpes Tebuireng. Wahid Hasyim juga merupakan salah satu anggota di Tim Sembilan BPUPKI.
Wahid Hasyim ditunjuk menjadi Menteri Negara dalam Kabinet Presidensial 2 September 1945. Selain itu, dia juga ditunjuk menjadi Menteri Agama dalam tiga periode pemerintahan yakni Kabinet RIS (20 Desember 1949-6 September 1950), Kabinet Natsir (6 September 1950-27 April 1951), dan Kabinet Sukiman-Suwiryo (27 April 1951-3 April 1952).
Selain Wahid Hasyim, tercatat pula kisah Natsir dan perpustakaan. Dalam buku “Natsir, Politik Diantara Dua Rezim (2017)” dikisahkan bahwa ketika di Bandung, setiap hari, selepas sekolah, Natsir membenamkan diri di Perpustakaan Gedung Sate untuk melahap buku-buku di Bibliotek. Ia juga memberanikan diri terus menerus bercakap Belanda. Di saat kemampuan bercakapnya bertambah ia ikut lomba deklamasi Bahasa Belanda yang digelar sekolah pada akhir tahun. Mengambil satu syair karangan Multatuli berjudul "De Bandjir", ia berlatih dengan kawannya, Bachtiar Effendy.
Saat hari lomba tiba, Natsir sengaja memakai baju adat Minang. Sepuluh menit berdeklarasi, tepuk tangan riuh menyambut. Di mukanya tampak Meneer gurunya. Tetap dengan senyum dan tepuk tangan sinis. Natsir mendapat juara 1 lomba itu. Hadiahnya buku karangan Westenenk, Warr Mesen Tigger Buren Ziyn (Manusia dan Harimau Hidup Sejiran). Natsir puas karena sudah membayar kesumatnya. Meski begitu, hati Natsir masih sedikit "panas" jika melihat gurunya itu. Di kelas V-A (kelas II sekolah menengah atas ), ia bertemu lagi dengan si Meneer. Maklum, siswa AMS pada tahun itu, 1927-1929, suka ikut bicara soal politik. Suatu kali, Meneer memberikan pelajaran pengaruh penanaman tebu dan pabrik gula bagi rakyat di Pulau Jawa.
Butuh dua pekan bagi Natsir untuk menyelesaikan tugas papernya itu. Tiap hari ia membenamkan diri di perpustakaan Gedung Sate, mencari literatur tentang pabrik gula itu. Natsir juga merajang habis karya-karya Snouck Hurgronje di perpustakaan, di antaranya Netherland en de Islam, buku yang memaparkan strategi Hurgronje dalam menghadapi Islam.
Pada harinya, Natsir mempresentasikan analisisnya di muka kelas. Ia menyodorkan bukti bahwa tidaklah benar Jawa menerima keuntungan dari pabrik gula di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Empat puluh menit menyampaikan analisisnya dengan bahasa Belanda yang rapi, seluruh kelas sunyi-senyap. Natsir melirik gurunya. Meneer itu diam. Natsir puas.
Zaman Now
Para bapak bangsa seperti Wahid Hasyim dan Muhammad Natsir telah memberikan teladan bahwa gaya hidup melek informasi terbukti mampu membebaskan negeri ini dari penjajahan. Di masa kini gaya hidup melek informasi di perpustakaan terbukti mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Mlale adalah nama salah satu desa terpencil di Kecamatan Jenar Kabupaten Sragen yang turut menyebarluaskan gaya hidup melek informasi melalui perpustakaan desa. Kripik singkong ala Mbak Sugiyem, penyandang disabilitas adalah salah satu manfaat yang bisa dipetik dari kehadiran perpustakaan. Kemandirian adalah harta yang sangat berharga bagi Hellen Keller dari Mlale ini untuk terus berkarya bagi negeri tercinta.
Pak Paryono, Kaur Keuangan Pemerintah Desa Mlale pernah bercerita melalui grup Whatsapp Forum Komunikasi Perpustakaan Desa bahwa perpustakaan bergerak semakin kencang menebar kebaikan. “Kalau yang lain baru menggelar pelatihan pemberdayaan masyarakat, perpustakaan desa kami sudah menerima orderan. Hari ini kami menerima pesanan bross 70 buah. Lumayan kerja sampingan sambil momong dan selfie,” ujar Paryono penuh rasa bangga.
Desa Gilirejo Baru Kecamatan Miri yang lahir dari kebijakan pembangunan Waduk Kedungombo tidak ketinggalan dalam menebar gaya hidup melek informasi melalui perpustakaan desa. Pak Sunarto, seorang petani karamba memperoleh inspirasi setelah membaca buku “Menggeluti Dunia Wirausaha”. “Tidak mudah mengawali usaha beternak ikan di desa yang tandus dan kering seperti desa kami. Satu-satunya tempat yang nyaman untuk membuat kolam adalah bibir Waduk Kedung Ombo. Karamba adalah satu-satunya pilihan bagi saya untuk membuat kolam. Awalnya, banyak ikan yang mati karena pengetahuan saya masih minim. Setelah mencari informasi dari teman-teman akhirnya kunci untuk meminimalkan kematian ikan baru ketemu, “ tutur Suami dari Maryuni yang biasa dipanggil MAS BOS ini.
“Salah satu energi baik dari perpustakaan adalah pemahaman bahwa literasi yangg di maksud harus mampu bertransformasi untuk membantu dalam pembangunan masyarakat dan pentingnya peran perpustakaan yang berinklusi sosial. Maknanya sangat luas karena kita harus bisa mampu mengangkat peran perpustakaan menjadi bagian penting agar kita semua bisa terus berdaya dan berjaya dalam mengambil peran penting tersebut, “kata Ahmadi dari Perpustakaan Desa Gilirejo Baru Kecamatan Miri.
*Romi Febriyanto Saputro adalah Pustakawan pada Dinas Arsip dan Perpustakaan Kabupaten Sragen