Perpustakaan, Literasi, dan Pemberdayaan
Oleh: Romi Febriyanto Saputro*
Menurut Undang-undang Nomor 43 Tahun 2007, perpustakaan diselenggarakan berdasarkan asas pembelajaran sepanjang hayat, demokrasi, keadilan, keprofesionalan, keterbukaan, keterukuran, dan kemitraan. Perpustakaan berfungsi sebagai wahana pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi, dan rekreasi untuk meningkatkan kecerdasan dan keberdayaan bangsa.
Frasa keberdayaan bangsa yang disebut paling akhir dalam alenia di atas menarik untuk dibahas. Keberdayaan bangsa adalah hasil akhir dari tujuan layanan literasi yang diberikan oleh perpustakaan. Keberdayaan bangsa juga disebut dalam Pembukaan UUD 1945 dengan istilah meningkatkan kesejahteraan umum dan kecerdasan bangsa. Jadi, perpustakaan merupakan salah satu sarana untuk meningkatkan kesejahteraan dan kecerdasan masyarakat. Dengan kata lain perpustakaan merupakan sarana untuk memberdayakan masyarakat melalui layanan literasi yang diberikan.
Menurut Manifesto Perpustakaan Umum (Unesco, 1994), adalah : a) Menciptakan dan memperkuat kebiasaan membaca di kalangan anak-anak sejak usia dini; b) Menciptakan individual dan pendidikan swatindak dan pendidikan formal pada semua tingkat; c) Menyediakan kesempatan bagi pengembangan kreasi pribadi; d) Merangsang imajinasi dan kreativitas anak-anak dan kawula muda; e) Mempromosikan kesadaran akan warisan budaya, apresiasi seni, keberhasilan ilmiah dan inovasi; f) Menyediakan akses untuk ungkapan kultural dari semua seni pertunjukan; g) Membina dialog antar-budaya dan menghormati keanekaragaman budaya; h) Menunjang tradisi lisan; i)Menjamin akses bagi warganegara pada semua informasi komunitas; j) Menyediakan jasa informasi yang cukup bagi perusahaan lokal, asosiasi dan kelompok yang berkepentingan; k) Memfasilitasi pengembangan keterampilan literasi informasi dan melek komputer; l) Membantu dan ikut serta dalam aktivitas dan program literasi bagi semua kelompok umur dan memulai aktivitas tersebut bilamana perlu.
Misi utama perpustakaan umum di atas sangat terkait dengan literasi informasi terutama penerapan literasi di bidang pendidikan, kebudayaan, teknologi informasi, dan pemberdayaan masyarakat. Library of Congres Subject Heading (dalam Septiyantono, 2014) mengartikan literasi informasi sebagai kemampuan yang dimiliki oleh seseorang dalam membaca informasi, mengolah informasi, dan mendayagunakan informasi secara efektif dan efisien sesuai dengan kebutuhan hidupnya. Kemampuan informatif memiliki kedudukan strategis dalam pembelajaran seumur hidup dan pembelajaran untuk semua dalam rangka meningkatkan kualitas hidup.
Menurut Priono dan Pranarka (dalam S Najiyati, 2005) terdapat dua kecenderungan dalam proses pemberdayaan masyarakat. Pertama, kecenderungan primer, yaitu proses pemberdayaan yang menekankan pada proses pemberian atau pengalihan sebagian kekuasaan, kekuatan, kemampuan, dan pengambilan keputusan kepada masyarakat agar lebih berdaya. Proses ini biasanya dilengkapi pula dengan upaya membangun aset material guna mendukung pembangunan kemandirian melalui organisasi. Kedua, kecenderungan sekunder, yaitu proses yang menekankan pada upaya menstimulasi, mendorong, atau memotivasi agar individu mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan pilihan hidupnya melalui proses dialog.
Pemberdayaan sekunder inilah yang menjadi tugas suci perpustakaan umum dengan memberikan daya kepada masyarakat melalui informasi yang tersimpan di buku, internet, dan aneka pelatihan yang menjadi kebutuhan masyarakat. Menurut pendapat Ambar Teguh Sulistiyani (2017), tahap-tahap yang harus dilalui dalam pemberdayaan masyarakat ada tiga tahap. Tiga tahap pemberdayaan ini jika diadopsi oleh perpustakaan menjadi, pertama, tahap penyadaran dan tahap pembentukan perilaku menuju perilaku sadar dan peduli sehingga masyarakat merasa membutuhkan kapasitas diri.
Pada tahap ini perpustakaan dapat menjalin komunikasi yang erat dengan komunitas yang ada di lingkungannya. Komunitas anak, remaja, perempuan, wirausaha maupun komunitas lainnya dapat diajak untuk melakukan aktivitas di perpustakaan. Membaca buku, membuka internet, belajar komputer, pelatihan kerajinan tangan, belajar memasak, belajar menulis, dan belajar kesenian atau sekedar ngobrol dan diskusi adalah kegiatan yang dapat dilakukan oleh komunitas di jendela dunia.
Pada tahap ini pula perpustakaan harus memiliki komitmen untuk memberikan kesempatan yang sama kepada semua pemustaka untuk mengakses layanan literasi sesuai dengan kelonggaran waktu pemustaka. Seperti membuka layanan sampai malam hari dan tetap membuka layanan pada tanggal merah. Layanan literasi yang menembus batas seperti ini sangat penting untuk tahap awal pemberdayaan. Jika langkah pertama ini gagal, langkah berikutnya dapat dipastikan gagal pula.
Hal ini sejalan dengan pendapat UNICEF seperti dikutip oleh L Mimbar, (2015), bahwa salah satu syarat untuk melakukan pemberdayaan adalah memberi kesempatan yang sama bagi semua orang untuk mengakses sumber daya dan menikmati manfaat dari sumber daya yang ada. Perbedaan kesempatan dalam mengakses sumber daya hanya akan menghambat proses pemberdayaan itu sendiri.
Kedua, tahap transformasi kemampuan berupa wawasan pengetahuan, kecakapan keterampilan agar terbuka wawasan dan memberikan keterampilan dasar sehingga dapat mengambil peran di dalam pembangunan. Pada tahap ini perpustakaan dapat memberikan pengetahuan dan keterampilan melalui layanan literasi kepada masyarakat mulai dari layanan sirkulasi, mendongeng, menulis sastra sampai kepada layanan yang sekilas tidak ada hubungannya dengan buku. Seperti pelatihan teknologi informasi (komputer dan internet), pelatihan kerajinan tangan, pelatihan fotografi, dan pelatihan kuliner.
Proses untuk memberikan pengetahuan sesuai dengan kebutuhan masyarakat ini oleh Edi Suharto (2005) disebut dengan proses pemberdayaan masyarakat. Edi Suharto berpendapat bahwa pemberdayaan merupakan upaya memperkuat pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki masyarakat dalam memecahkan masalah dan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Pada tahap ini masyarakat akan menjalani proses belajar tentang pengetahuan dan kecakapan-kecakapan yang memiliki relevansi dengan apa yang menjadi tuntutan kebutuhan tersebut. Keadaan ini akan menstimulasi terjadinya keterbukaan wawasan dan menguasai kecakapan keterampilan dasar yang mereka butuhkan.
Ketiga, tahap peningkatan kemampuan intelektual, kecakapan keterampilan sehingga terbentuklah inisiatif dan kemampuan inovatif untuk mengantarkan pada kemandirian. Kemandirian tersebut akan ditandai oleh kemampuan masyarakat di dalam membentuk inisiatif, melahirkan kreasi-kreasi dan melakukan inovasi-inovasi di dalam lingkungannya. Pada tahap ini perpustakaan harus mengambil peran menjadi penyambung lidah rakyat, menjadi jembatan komunikasi antara pemustaka yang sudah terlibat dalam kegiatan pemberdayaan dengan para pemangku kepentingan yang dapat menghantar pemustaka menuju kemandirian.
Pemustaka yang sudah mengikuti pelatihan kerajinan tangan dan sudah mempraktikkan di rumah dapat dihubungkan dengan Dinas Koperasi dan UMKM agar mendapat pelatihan tingkat lanjut dalam merintis usaha. Dinas Komunikasi dan Informatika (Kominfo) dapat membantu memberi pelatihan pemasaran online. Dinas Perindustrian dan Perdagangan dapat mengambil peran memberikan pelatihan maupun modal untuk menuju usaha mandiri. Dengan demikian akan terwujud sinergi antara pemberdayaan sekunder dari perpustakaan dengan pemberdayaan primer yang ada di instansi lain. Ini sesuai dengan pendapat Unesco (2016) bahwa program literasi untuk orang dewasa muncul untuk menghasilkan beberapa manfaat, khususnya membangun self esteem (kepercayaan diri) dan empowerment (pemberdayaan).
*Pustakawan pada Dinas Arsip dan Perpustakaan Kabupaten Sragen