Perpustakaan dan Kisah Mantan Buku Paket
Oleh: Romi Febriyanto Saputro*
Sistem pendidikan di Finlandia memiliki berbagai keunggulan yang membuatnya menjadi negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia. Salah satu keunggulannya yaitu dari segi kurikulum nasional. Seorang pakar dan praktisi pendidikan Finlandia bernama Petri Vuorinen yang menjabat sebagai Kepala Sekolah The English School di Helsinki mengungkapkan, kurikulum nasional yang telah ditetapkan di negara itu akan berlaku selama 10 tahun dan tidak akan berubah meskipun pemerintahan dan kebijakannya berganti. Hal itulah yang membuat konsistensi dalam pendidikan di sana sehingga menghasilkan kualitas peserta didik yang bagus.
Saat kurikulum nasional diluncurkan pertama kali, tentunya dalam satu atau dua tahun pertama masih terasa sesuai dengan zamannya. Namun, lama-kelamaan zaman terus berubah dan sistem pendidikan pun harus ikut berkembang. Maka dari itu, kalaupun mau mengikuti perkembangan zaman, maka yang bisa diubah adalah kurikulum sekolah. Namun, perubahan itu harus tetap berbasis pada kurikulum nasional. Demikian berita yang ditulis oleh kompas.com pada tanggal 15 Oktober 2019.
Kurikulum baru selalu menjadi tradisi ketika ada pergantian menteri pendidikan di negeri tercinta ini. Setiap menteri selalu memiliki pola pikir untuk memajukan dunia pendidikan di tanah air. Semua memiliki niat baik dalam melahirkan kurikulum baru. Kurikulum lama selalu dipandang tidak sesuai dengan zaman ketika ada menteri baru dan tentu saja presiden baru dalam dunia pendidikan di tanah air. Bahkan sejarah mencatat di negeri ini dalam waktu yang sama berlaku dua kurikulum yang berbeda yaitu kurikulum 2013 dan KTSP. Sekolah yang sudah siap dengan kurikulum 2013 memakai kurikulum ini sedangkan sekolah yang belum siap dengan kurikulum ini menggunakan kurikulum KTSP.
Setiap pergantian kurikulum selalu ada ritual rutin yang dilakukan seperti sosialisasi, pelatihan kurikulum baru dan tak lupa ganti buku baru untuk peserta didik. Semua membutuhkan dana yang tidak sedikit. Semua membutuhkan energi yang sangat besar. Kurikulum baru seperti pemilu untuk dunia politik negeri ini yang rutin hadir setiap lima tahun sekali dengan biaya yang tak murah dengan keluaran yang tak sebanding dengan biaya itu sendiri.
Bagi perpustakaan sekolah, kurikulum baru adalah kiamat kecil yang dapat mengganggu proses membangun budaya baca peserta didik. Mengapa? Sejumlah pengelola perpustakaan sekolah menuturkan bahwa ketika kurikulum baru hadir anggaran Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk buku akan dioptimalkan untuk pembelian buku paket atau pelajaran produk kurikulum baru. Untuk sekolah dengan jumlah murid yang cukup banyak saja anggaran BOS untuk pembelian buku banyak tersedot untuk kepentingan kurikulum baru ini. Apalagi untuk sekolah dengan jumlah murid minim anggaran BOS bukuĀ 100 persen untuk pengadaan buku paket atau pelajaran kurikulum baru. Anggaran untuk beli buku non-paket atau pelajaran untuk mengisi rak-rak perpustakaan sekolah nyaris tak tersisa.
Para pengelola perpustakaan sekolah ini menjadi mati gaya untuk melakukan gerakan literasi sekolah. Tentu akan sangat lucu dan mengundang tawa ketika gerakan literasi sekolah dilakukan tanpa kehadiran buku baru di rak-rak perpustakaan sekolah. Buku baru adalah tanda kehidupan literasi sekolah. Jika tanda ini dihapus begitu saja jangan salahkan jika generasi Z yang saat ini sedang duduk di bangku sekolah semakin alergi saja dengan jendela dunia yang ada di sekolah mereka. Buat apa pergi ke perpustakaan sekolah jika hanya disuguhi oleh tumpukan buku paket atau pelajaran kurikulum lama? Meskipun terkadang buku kurikulum lama ini adalah buku baru juga yang sudah terlanjur dipesan oleh sekolah tetapi tiba-tiba ada revisi buku di tengah jalan. Buku baru yang hadir ketika kurikulum dinyatakan kedaluwarsa.
Bagi para pengelola perpustakaan sekolah yang sebagian besar adalah tenaga pendidikan non-PNS ini kehadiran kurikulum baru membuat mereka bekerja keras hanya untuk mengurus buka paket atau pelajaran saja. Tugas utama membangun budaya literasi sekolah menjadi terlupakan. Bukan karena mereka lupa,tetapi karena mereka sibuk mengurus buku kurikulum lama yang harus ditarik dari peserta didik sekaligus mengurus kedatangan buku paket atau pelajaran versi kurikulum baru. Bertemunya dua produk kurikulum ini membuat perpustakaan sekolah penuh sesak dengan kehadiran buku paket atau pelajaran.
Jika sekolah memiliki gudang buku, buku kurikulum lama akan dipindah dari perpustakaan ke gudang buku. Bagi yang belum memiliki gudang buku maka fungsi perpustakaan sekolah akan berubah menjadi gudang buku paket atau pelajaran dan bukan gudang ilmu. Jarang sekali beli buku non-paket atau pelajaran kian meneguhkan eksistensi perpustakaan sekolah sebagai gudang buku belum gudang ilmu.
Jika nanti ada pergantian kurikulum pendidikan lagi saya berharap ini menjadi episode terakhir dari cerita bersambung tentang kurikulum. Bukan cerita sinetron kurikulum yang selalu diperpanjang oleh sutradara film hanya untuk meraih rating yang tinggi. Saya tak akan berhenti berharap kurikulum baru bukan kurikulum yang mengirimkan buku kurikulum lama ke gudang buku tetapi adalah kurikulum yang memberikan kemerdekaan kepada guru dan peserta didik untuk membaca buku kurikulum lama dengan paradigma kurikulum baru. Kurikulum yang memberikan warna baru untuk memperbanyak variasi judul buku di rak perpustakaan sekolah. Bila terpaksa harus tetap mencetak buku paket atau pelajaran sesuai kurikulum baru saya berharap ini buku ini didesain dengan bahasa yang lebih ramah dan mudah dicerna peserta didik. Bukan buku paket atau pelajaran yang didesain dengan bahasa jurnal ilmiah atau tesis. Harapannya meskipun kurikulum berganti tidak serta merta harus mengganti buku paket atau pelajaran lagi. Semoga!
*Romi Febriyanto Saputro adalah Pustakawan pada Dinas Arsip dan Perpustakaan Kabupaten Sragen