Rembuk

'Penting bagi Warga untuk Memiliki Sikap Terbuka dan Kritis'

JAKARTA -- Peneliti dan Kader Intelektual Muhammadiyah Muhammad Abdullah Darraz mengatakan, virus intoleransi menjadi halangan terbesar untuk mewujudkan Indonesia yang harmoni dalam keberagaman. Setidaknya ada dua elemen mendasar yang perlu dimiliki anak bangsa untuk pulih dari virus intoleransi.

"Jadi kalau kita mau pulih dari sikap radikalisme dan intoleransi, ada dua hal, yang pertama keterbukaan, yang kedua sikap kritis. Itu dibutuhkan dan wajib ditanamkan," ujar Muhammad Abdullah Darraz, di Jakarta, Kamis (18/8/2022).

Darraz menjelaskan, proses radikalisasi sering kali masuk akibat keterbukaan yang tidak diiringi sikap kritis. Hal ini mengingat startegi infiltrasi kelompok tertentu yang semakin halus, canggih dan ‘cantik’. Namun, kedua hal tersebut juga harus didorong dengan penanaman literasi yang baik, karena hal ini dapat dimanfaatkan untuk membangun benteng pencegahan yang kuat.

Scroll untuk membaca

Scroll untuk membaca

"Tentunya ini juga harus dibarengi dengan banyak literasi dan diskusi agar wawasan terbuka. Jadi ketika dihadapkan kepada oknum yang melakukan manipulasi (agama dan ideologi), maka kita bisa kita cegah dengan pengetahuan dan sikap kritis," ujarnya.

Ia menyebut Indonesia dalam konteks intoleransi sedang dalam kondisi ‘sakit’. Menurutnya, virus itu mampu melemahkan bangsa sehingga menjadi mudah dipecah-belah dan kian terjebak dalam pusara konflik.

"Karena bangsa yang sehat adalah bangsa yang penuh toleransi, selalu damai, dan menghargai perbedaan. Sebab virus radikalisme dan intoleransi yang melemahkan bangsa ini, dapat menghambat kemajuan bangsa dan negara ke depannya," jelas Darraz.

Oleh karenanya, ia mengajak semua pihak untuk mampu merefleksikan diri melalui pesan kemerdekaan untuk bersatu dan bertekad melawan berbagai tantangan yang dihadapi sebagai sebuah bangsa, salah satunya praktik intoleransi yang dewasa ini mudah dijumpai sebagai politisasi agama oleh oknum dengan kepentingan politik.

"Konteks di 2017, 2019, itu kentara sekali peristiwa politiknya, menolak perbedaan atas nama agama dijadikan permainan, dijadikan kepentingan politik. Ini Tidak boleh terulang kedepannya. Agama hasrus digunakan untuk mencapai kebajikan, bukan kepentingan sesaat," katanya.

Ikuti Ulasan-Ulasan Menarik Lainnya dari Penulis Klik di Sini
Image

0